Surat edaran Direktur Jenderal Vokasi (2020) menyatakan kegiatan Praktik Kerja Lapangan (PKL) selama masa pandemi Covid-19 dapat digantikan dengan pembelajaran berbasis proyek, orientasi kerja, atau dengan melaksanakan proyek kewirausahaan yang ditentukan oleh sekolah/perguruan tinggi bekerjasama dengan industri. Untuk itu, sekolah/perguruan tinggi yang memiliki program PKL perlu menyiapkan panduan pembelajaran berbasis proyek memasuki tahun ajaran baru di masa adaptasi kebiasaan baru (new normal).
Salah satu yang perlu dikembangkan adalah proyek kewirausahaan sebagai pengganti PKL. Proyek kewirausahaan sebagai pengganti PKL ke depan sangat berpotensi dipermanenkan dalam kurikulum merdeka belajar. Seperti dinyatakan Inventure (2020), bahwa ke depan pengembangan kurikulum kewirausahaan akan semakin dibutuhkan. Banyak kajian juga menyatakan bahwa keterampilan berwirausaha dan keterampilan digital menjadi bagian keterampilan utama yang dibutuhkan di era Revolusi Industri 4.0. World Bank (2018) menyatakan, untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja di era digital, lulusan pendidikan perlu menguasai digital skills di antaranya adalah:
- keterampilan menggunakan teknologi digital,
- keterampilan membuat dan mengembangkan aplikasi digital, dan
- keterampilan mengelola bisnis digital.
Selama ini, pembelajaran kewirausahaan masih bersifat teoretis berupa membuat produk, memamerkan, sekaligus menjual produk di akhir kegiatan pembelajaran. Pembelajaran kewirausahaan masih berbasis di kelas, terikat kaku dengan dokumen kurikulum, kurang interaksi usaha dengan konsumen di luar kelas/sekolah. Hasil produk/jasa sangat terbatas sehingga kurang mampu menerima pesanan dalam jumlah banyak karena tujuanya hanya menyelesaikan tugas/proyek di kelas. Masih banyak guru kewirausahaan belum mengoptimalkan potensi digital ekonomi karena keterbatasan kompetensi di bidang kewirausahan digital. Untuk itu, diperlukan pelatihan dan peningkatan kompetensi untuk menguasai tool-tool di bidang bisnis digital.
Saat ini, sesuai tuntutan, kurikulum dalam mengembangkan usaha harus berbasis bidang ilmu (supply driven). Beberapa bidang keahlian mengeluhkan kesulitan mengembangkan aktivitas kewirausahaan karena membutuhkan sumber daya yang tinggi dan potensi pasar di wilayah tersebut sulit untuk dikembangkan jika harus sesuai bidang keahlian. Untuk itu, diperlukan relaksasi kurikulum dengan pendirian usaha yang berbasis peluang dari kebutuhan pasar/masyarakat (demand driven) dengan mengoptimalkan potensi digital ekonomi. Terkadang, seseorang memiliki keahlian memproduksi suatu produk/jasa, namun tidak menemukan pasarnya. Bisa jadi peluang usaha yang ditemukan tidak sesuai bidang ilmunya, namun ada peluang pasar yang berpotensi keuntungan tinggi secara berkelanjutan. Jika usaha berkembang besar dapat dipastikan kompetensi di bidang ilmunya akan mendukung kegiatan usahanya karena semua industri besar pasti memerlukan berbagai disiplin ilmu.
Tentu sangat ideal jika bisa mengembangkan usaha dengan produk sesuai bidang keahliannya, namun ada beberapa bidang keahlian di mana pengembangan usaha awal di sektornya memerlukan modal/sumber daya yang sangat tinggi sehingga sulit dijangkau dalam kegiatan kewirausahaan di sekolah. Untuk itulah, diperlukan fleksibilitas dalam pengembangan dan implementasi kurikulum kewirausahaan agar bisa disesuaikan dengan peluang usaha digital ekonomi dan indsutri kreatif yang memungkinkan dikembangkan sesuai peluang di pasar lokal hingga global.
Kompetensi kewirausahaan telah disusun dalam Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) sesuai Keputusan Menteri Tenaga Kerja nomer 53 tahun 2014, meliputi dua fungsi utama, yaitu mendirikan perusahaan dan menjalankan organisasi perusahaaan. Mendirikan usaha meliputi unit kompetensi menentukan produk/jasa, merencanakan kebutuhan sarana dan prasarana, pengadaan sarana dan parasarana, serta pengadaan tenaga kerja dan pemenuhan ijin usaha. Menjalankan organisasi usaha meliputi unit kompetensi mengelola tenaga kerja, membuat rencana produksi, menentukan bahan baku, penyediaan bahan baku, melaksanakan produksi, mengelola produk, memasarkan produk, interaksi dengan konsumen, dan mengelola keuangan. SKKNI kewirausahaan industri ini dapat dijadikan landasan pengembangan proyek kewirausahaan sebagai pengganti PKL.
Komisi Eropa (2014) menyatakan, 20% siswa yang berpartisipasi dalam program perusahaan mini di sekolah, berpotensi lima kali lebih tinggi untuk memulai perusahaan mereka sendiri di masa depan dibandingkan dengan siswa yang tanpa pengalaman mendirikan usaha di sekolah. Pengembangan ekosistem kewirausahaan juga sangat mendukung kesuksesan program pembelajaran kewirausahaan. Menurut Daniel Isenberg (2011), ada enam domain ekosistem kewirausahaan, meliputi:
- Kebijakan
Kebijakan berupa komitmen pemerintah dan manajemen sekolah/perguruan tinggi dalam mendukung kegiatan pengembangan kurikulum dan implementasi aktivitas kewirausahaan di sekolah dan di luar sekolah, contohnya berbagai aturan yang mendukung, interaksi dan kolaborasi dengan UMKM di luar sekolah, investor, mentor, dan lainnya.
- Keuangan
Dukungan akses permodalan melalui program hibah, akses ke investor, atau bank.
- Budaya
Pengembangan motivasi, cerita sukses, budaya inovasi dan kreativitas, bangkit dari kegagalan, berorientasi kesuksesan, bekerja keras untuk memenuhi target dan lainnya.
- Dukungan fasilitasi
Dukungan faslitasi dalam berkreasi, berproduksi, pemasaran dan layanan konsumen, serta kelanjutan usaha, baik dari aspek legalitas, finansial, maupun pendampingan usaha dengan kerjasama denga dunia usaha dan industri.
- Sumber daya manusia
Ketersediaan guru yang berpengalaman wirausaha, mentor/pendamping dari industri, potensi internal dan eksternal siswa, jejaring komunitas dan kepemimpinan.
- Pasar
Menciptakan pasar yang kondusif, seperti mendatangkan/kunjungan konsumen, distribusi barang ke luar sekolah/perguruan tinggi, marketplace, jejaring digital, kerjasama industri, serta akses pasar ekspor maupun dalam negeri.
Di era industri kreatif dan digital ekonomi, pembelajaran kewirausahaan mulai bertranformasi dari berbasis teoretis menjadi kegiatan usaha yang nyata untuk merealisasikan ide, menjadi kegiatan usaha dengan mendirikan dan mengelola perusahaan mini (mikro) secara nyata. Aktivitas yang dilakukan terkait hal ini, mulai dari survei pasar, pengembangan ide, realisasi produk/jasa, perencanaan dan pengembangan model bisnis, pendirian dan pengelolaan usaha, melakukan pemasaran digital melalui marketplace maupun media sosial dengan target omzet tertentu, hingga melakukan kerjasama dan pengembangan usaha. Komisi Eropa (2014) menyatakan bahwa pencapaian kompetensi kewirausahaan hanya akan efektif jika diajarkan melalui pengalaman langsung, pengalaman nyata, dan pekerjaan berbasis proyek dengan pengembangan kompetensi kewirausahaan dimulai dari intitusi pendidikan direalisasikan dalam kehidupan masyarakat dan dunia bisnis secara nyata.
Pengembangan startup bisnis di era digital dapat dilakukan dengan mengkombinasikan aktivitas offline dan online dengan berbagai model bisnis sebagai pemilik brand, produsen, reseller, dropshiper, dan lainnya. Saat ini, banyak anak muda mengembangkan startup berbasis industri kreatif dengan mengoptimalkan teknologi dan pemasaran digital. Untuk itu, aktivitas proyek kewirausahaan dengan pengembangan perusahaan pada skala mikro sebagai startup bisnis dengan kriteria unjuk kerja mengadopsi SKKNI kewirausahaan industri dapat menjadi aktivitas pengganti PKL untuk menyiapkan generasi muda ke depan sebagai generasi pemberi kerja
Sumur : www.suyanto.id