Manusia menciptakan simbol, untuk menggunakannya dalam komunikasi, juga harus menciptakan makna dan tanggapan kepada simbol-simbol itu. Simbol-simbol yang ada dan yang diciptakan manusia, perlu adanya makna yang akan menafsirkannya sehingga apa yang di simbolkan bisa dipahami oleh manusia.
Sebagai contoh makna simbol dalam kebiasaan masyarakat Surantih dalam tradisi “Parang pisang” merupakan tradisi yang ada di Surantih terjadi apabila ada kelahiran anak kembar sepasang (laki-laki dan perempuan), bertujuan untuk memberi tahu kepada masyarakat banyak, bahwasanya ada anak kelahiran kembar sepasang (laki-laki dan perempuan), seandainya masyarakat banyak melihat anak ini berduaan di perkarangan rumah maupun tempat lainnya agar tidak terjadi kesalahpahaman kalau anak ini bersaudara dan sekaligus pemberitahuan kepada masyarakat banyak ada dari sebuah rumah yang melahirkan anak kembar sepasang (laki-laki perempuan)
(gambar :Google)
Parang pisang merupakan sebuah keharusan yang harus dilakukan oleh masyarakat, seperti disaat adanya anak yang lahir kembar sepasang (laki dan perempuan). dalam parang pisang ada yang namanya si pokok/ si pangka (tuan rumah) dan si alek (tamu). Parang Pisang merupakan kewajiban yang harus dilakukan oleh masyarakat di Nagari Surantih dengan kondisi tersebut.
Tradisi parang pisang dilakukan, supaya mitos yang ditakuti (adanya rasa suka di antara kedua anak kembar sepasang) yang selama ini dipercaya masyarakat, agar tidak terjadi, dan sekaligus memberitahukan kepada orang banyak, ada dari sebuah rumahyang melahirkan anak kembar sepasang (laki-laki perempuan) dan seandainya masyarakat banyak melihat anak ini berduaan di perkarangan rumah maupun di tempat lain agar tidak mengira hal lain terhadap anak ini.
Tradisi Parang PIsang merupakan sebuah adat yang masih berlangsung dalam kehidupan masyarakat Nagari Surantih. Nagari Surantih merupakan sebuah daerah yang berada di Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan. Salah satu tradisi yang masih dilaksanakan masyarakat di Surantih adalah sebuah tradisi yang mereka kenal sebagai tradisi parang pisang.
Pasangan Anak Sumbang
Parang Pisang adalah upacara melepaskan bathin anak sumbang[1]. Upacara ini dilaksanakan oleh keluarga yang memiliki anak sumbang, maka keluarga dari Bapak (bako[2]) dan Juga dari pihak keluarga ibu si anak sumbang, berperang dengan mengunakan pisang sebagai senjata. Upacara ini dilaksanakan setelah kesepakatan antara pihak bako dengan kaum dari ibu si anak sumbang. Pada hari yang telah ditentukan kedua belah pihak menyediakan pisang yang telah direbus untuk dijadikan amunisi perang.
Simuntu berpakain daun pisang kering
Pihak bako bersama-sama karib kerabat yang telah diucok akan datang ke rumah kaum dari ibu si anak dengan membawa antaran yang beragam. Demikian juga dari kaum dari ibu si anak sumbang menunggu kedatangan bako si anak. Kedatangan rombongan bako diiringi dengan kesenian sarunai[3] dan talempong[4] beserta tarian Simuntu. Ke dua belah pihak memiliki satu/dua Simuntu yang merupakan orang bertopeng dengan pakaian daun pisang yang berfungsi sebagai panglima perang.
(Gambar : Google)
Rombongan Bersama Simuntu
Ketika rombongan sampai di halaman kediaman keluarga ibu si anak, maka kedua belah pihak melantunkan kata bersambut dan adat basa-basi untuk menentukan pilihan anak yang akan diambil oleh pihak bakonya. Dalam tawar menawar itu terjadilah perselihan karena masing-masing pihak tetap dengan pilihannya. Karena tidak terjadinya kata sepakat, maka di bawah komando simuntu terjadilah parang pisang antara kedua kubu. Perang ini dilakukan oleh kaum perempuan sedangkan kaum laki-laki hanya boleh menyaksikan saja.
(Gambar : Google)
Setelah dilakukan parang pisang beberapa saat, kemudian kedua belah pihak berunding lagi untuk menentukan anak yang mana yang akan dibawa oleh “induak bakonya”. Tujuan dari tradisi ini adalah untuk memisahkan bathin secara lahir si kembar agar kemudian hari tidak menimbulkan hal-hal yang merugikan jiwa kedua anak tersebut dalam hukum adat dan syarak. Hal ini didasarkan pada pandangan masyarakat bahwa anak yang lahir kembar sepasang (Sumbang) satu laki-laki dan satu perempuan dianggap telah kawin secara bathin meskipun berasal dari satu darah keturunan. Untuk menghindari terjadinya pelanggaran adat dan syarak di kemudian hari oleh anak sumbang tersebut maka diadakanlah parang pisang untuk memeranginya supaya bathin keduanya lepas dan lupa akan perkawinan bathin itu.
Catatan :
[1] Anak sumbang adalah anak kembar dua sejoli, satu laki, satu perempuan.
[2] Bako adalah seluruh famili dari pihak keluarga ayah.
[3] Sarunai merupakan alat musik tiup tradisional Minangkabau yang terbuat dari bambu/buluh
[4] Talempong merupakan alat musik pukul yang terbuat dari tembaga/kuningan.
Sumber :
https://topikini.com/uniknya-tradisi-perang-pisang-di-pesisir-selatan-begini-kisahnya
http://genpiknik.com
Baca juga :
Alm. Pirin Asmara (Maestro Rabab Pasisia) Terima Anugerah Kebudayaan Sumbar Tahun 2020