Bahasa Toki Pona memang bukan bahasa alami, namun merupakan bahasa ciptaan. Jadi, memang ada seseorang yang menciptakan bahasa ini dari nol. Penciptanya sendiri bernama Sonja Lang dan kebetulan saya pernah bertemu beliau.
Sonja menciptakan Toki Pona sebagai sebuah bahasa yang bersifat minimalis. Bahasa Toki Pona hanya memiliki 14 huruf (a, e, i, j, k, l, m, n, o, p, s, t, u, w —catatan: huruf j dibaca seperti y dalam bahasa Indonesia) dan 120 kata. Betul, Anda tidak salah baca. Toki Pona hanya memiliki seratus dua puluh kata. Jadi, banyak sekali ambiguitas dalam Toki Pona.
Misalnya saja, kata “pona”. Berasal dari bahasa Esperanto “bona” yang berakar dari bahasa Latin, “bonus” yang berarti “baik”, pona memiliki arti lainnya. Meskipun arti dasar pona adalah “baik”, namun pona pun dapat berarti “sederhana, mudah, ramah, positif, berguna, damai” dan dapat digunakan sebagai ungkapan “halo” dan “terima kasih”.
Begitupun dengan kata toki, artinya bisa “berbicara, berkata, bertutur, berteriak, berpikir, berbincang, bertanya” atau bisa menjadi kata benda “bahasa, perkataan, ujaran” dan lainnya.
Maka, nama Toki Pona sendiri berarti “bahasa yang baik” atau “bahasa yang mudah” atau “bahasa yang sederhana”.
Pertanyaan yang sering muncul adalah, bagaimana kita bisa berekspresi hanya dengan 120 kata?
Sederhana saja, gabungkan dengan kata lainnya. Dalam Toki Pona, tidak ada kata untuk “kopi” namun ada kata untuk “air”(telo) dan “hitam”(pimeja), maka kopi disebut telo pimeja alias air hitam. Dengan mengetahui kata “gila” (nasa) kita bisa membentuk istilah telo nasa yang artinya minuman beralkohol.
Dalam Toki Pona, hanya ada istilah kili yang bisa berarti “buah, sayuran, jamur”. Bagaimana kalau kita mau menyebutkan bahwa kita sedang memakan mangga? Kita bisa sebut kili pi loje jelo yang berarti buah berwarna jingga (kata per kata: buah yang merah kekuningan). Bagaimana membedakannya dengan buah jeruk? Bagaimana jika orang ingin mengetahui apakah lawan bicaranya sedang makan mangga, dan bukan jeruk? Tambahkan informasi tambahan saja: kili pi loje jelo pi ma Tawi (buah yang merah kekuningan dari negeri Thailand). Jadi panjang? Memang. Begitulah Toki Pona.
Pertanyaan berikutnya yang muncul, “Untuk menyebut mangga saja membutuhkan sekian banyak kata, apakah masih bisa dibilang sederhana?”
Yah, tujuan dari diciptakannya Toki Pona adalah menyederhanakan pikiran. Jadi, Toki Pona menuntut penuturnya berpikir secara sederhana dan menyampaikan yang perlu saja. Tujuan dari Toki Pona adalah agar orang cukup berkata “saya makan buah” (mi moku e kili) dan tidak perlu berpikir rumit untuk mengatakan “saya makan mangga” (mi moku e kili pi loje jelo pi ma Tawi).
Selain itu, memang tujuan Toki Pona pun adalah untuk menanamkan rasa kesadaran berpikir. Saat saya ingin membuat kalimat dalam Toki Pona, saya harus berpikir apa yang ingin saya katakan, bagaimana saya harus mengatakannya, dan apakah saya bisa mengatakannya dengan sederhana. Menurut Sonja Lang sendiri, Toki Pona adalah upayanya untuk memahami kehidupan ini dalam 120 kata.
Jangan salah, beberapa teks dapat diterjemahkan ke dalam Toki Pona:
(Bahasa Inggris — Toki Pona — Terjemahan dari Toki Pona)
Selain itu, karena bahasanya yang sederhana, Toki Pona pun sudah dibuatkan bahasa isyaratnya serta sistem penulisan “hieroglif” untuk Toki Pona:
Ada pula yang membuat hieroglig Toki Pona bergaya hieroglif suku Maya:
Baca: toki pona li toki pona “Toki Pona adalah bahasa yang mudah”
Saya sendiri sempat belajar Toki Pona sedikit dan sudah banyak lupa, tapi saya masih bisa mengerti beberapa kalimat pendek. Saya pun memiliki buku Toki Pona yang ditulis oleh Sonja Lang.
Saya rasa hanya ada beberapa orang (mungkin 5–10 orang) yang fasih berbicara dalam Toki Pona, termasuk Sonja Lang sendiri. Mungkin ada beberapa ratus orang di dunia yang memiliki penguasaan menengah. Kebanyakan pelajar Toki Pona meninggalkannya karena mereka sulit mengekspresikan pikiran atau pendapat mereka dalam Toki Pona, dan mereka jadi tidak berlatih menggunakannya. Karena kesederhanaannya, bahasa ini mejadi rumit. Ironi, bukan? Yah, mungkin memang karena tidak ada bahasa yang sepenuhnya sederhana dan mudah.
Source :
Syauqi Stya Lacksana, Linguis