Sering timbul pertanyaan berkaitan efektivitas praktik pendidikan di lingkungan sekolah formal (kurikulum nasional) pada umumnya. Apakah konsep sekolah formal tidak relevan lagi untuk menjawab masalah kebodohan, kemiskinan, ataupun memberikan solusi yang mampu mendukung seseorang mampu survive dan sukses dalam dunia kerja hari ini/masa depan. Terlalu kompleks dan penuh dengan tuntutan administratif sehingga menjerat para pelaku pendidikan, dalam hal ini guru dan siswa, dengan kerumitan standar pencapaian yang tidak esensial.
Seperti yang mungkin sudah kita sadari, teknologi berkembang semakin canggih. Dengan kecanggihan tersebut, banyak urusan bisa selesai dengan cepat dan mudah akibat kerja komputer.
Beberapa tahun yang lalu, kita harus memberi tahu komputer apa yang harus ia lakukan. Dan semakin ke sini, para komputer semakin mampu untuk mencari tahu sendiri. Munculnya kecerdasan buatan/Artificial Intelligence (AI) dan kode-kode yang terus belajar, akan segera membentuk ulang tatanan kehidupan dan pekerjaan ke depannya.
Ya! Kita telah memasuki era baru yang didorong oleh kehadiran teknologi eksponensial
- Perangkat murah (ponsel, kamera, dan sensor), komputasi dan penyimpanan menghasilkan big data;
- Kita hidup, belajar, bekerja, dan bermain di atas platform;
- Kehidupan dan pekerjaan kita telah disambungkan dengan Artificial Intelligence (AI) dalam kategori yang sempit tetapi meluas.
AI diam-diam bekerja di setiap aspek kehidupan, antara lain media sosial dan asisten digital, radiologi dan epidemiologi, perdagangan dan shipping, manajemen lalu lintas dan produksi energi, manufaktur otomatis dan optimasi pertanian. AI menjanjikan manfaat luar biasa di masing-masing kategori ini.
Oleh karenanya, setiap orang akan merasakan perubahan yang drastis — dan perubahan-perubahan tersebut akan semakin lebih sering terjadi pada generasi anak-anak kita.
Hal demikian memunculkan tiga literasi baru yang jauh lebih dibutuhkan dari masa sebelumnya:
- Keterampilan desain (design thinking): Design thinking adalah sebuah metodologi untuk melakukan pemecahan masalah secara kreatif. Anda dapat menggunakannya untuk diri sendiri, atau dapat mengajarkannya kepada para siswa sebagai framework menyelesaikan projek-projek di kehidupan nyata.
Menariknya, di Amerika, design thinking dianggap sebagai pendekatan/proses berpikir yang dinilai paling relevan menjawab kebutuhan inovasi memasuki era ekonomi digital ini, sehingga mulai semakin diterapkan dalam praktik pendidikan sejak dini.
Dilansir dari Youth Leadership Development Programs & Skills Training – dalam beberapa tahun terakhir, ratusan pendidik di AS, dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi, telah terinspirasi untuk memperbaiki cara lama mereka dalam mengajar, dengan mendalami design thinking. Ruang kelas mereka berbentuk seperti ala-ala laboratorium inovasi Sillicon Valley dimana para siswa mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan menentukan masalah, kemudian melakukan brain-storming ide, prototyping, dan testing atas solusi masalah tersebut.
Seperti apa memang penerapan design thinking itu? Jika diringkas, Design Thinking melibatkan beberapa tahapan proses.
1. Empati (Empathy)
Fase ini mendorong siswa keluar dari kehidupan pribadi untuk masuk ke dunia di sekitar mereka. Daripada sekedar hanya menjawab pertanyaan pada ujian akhir pekan, mereka bisa melihat realitas lingkungan sekitar, kemudian mengidentifikasi masalah yang dihadapi orang-orang di sana. Cara ini akan memperluas perspektif dan memberi isyarat kepada siswa untuk memikirkan orang lain. Sekolah pun dapat menjadi tempat belajar memecahkan masalah yang lebih besar, dimana kesuksesan siswa didasarkan pada seberapa baik mereka melayani kebutuhan orang lain.
2. Keterlibatan (Engagement)
Pada fase ini, siswa ditantang untuk mewawancarai orang-orang yang terlibat, dimana mereka harus mulai mengidentifikasi dan melihat lebih detil/mendalam hal-hal di sekitar mereka. Ini adalah sisi kemanusiaan dari design thinking, yang cenderung dapat lebih menghidupkan suasana kelas karena mereka bersentuhan dengan hal-hal nyata.
3. Penggasan Ide (Ideate)
Pada fase ini, siswa siap untuk bertindak. Bahkan, mereka diberi insentif untuk mengambil tindakan. Siswa mulai masuk pada tahap menggunkan pendekatan lima langkah yang dipopulerkan di Stanford d.school: “Pertama, tentukan masalahnya. Kedua, bertukar pikiran atau gagas sebanyak mungkin solusi. Ketiga (dan keempat), Buat prototipe dan uji ide-ide tersebut. Terakhir, renungkan: Mana yang berhasil? Mana yang tidak? serta Apa alasannya? ” Fase ini merupakan saat dimana inovasi dan kolaborasi terjadi di antara para siswa, serta mereka menjadi sangat terlibat di dalamnya.
4. Pelaporan (Report)
Pada fase terakhir, siswa diminta menghasilkan cara kreatif untuk melaporkan hasil sehingga orang lain turut mampu melihat dan merasakan masalah, sehingga mungkin saja orang lain bersedia bergabung dengan siswa dalam memecahkannya. Di sinilah para pemangku kepentingan bisa melihat hasilnya — termasuk guru, administrator, orang tua, bahkan tokoh masyarakat, seperti walikota atau dewan kota. Hal ini dapat menjadi sumber kebanggaan bagi para siswa dan mungkin… mungkin saja menjadi solusi bagi masyarakat di tempat mereka tinggal.
- Keterampilan kewirausahaan (entrepreneurship skills): mengambil inisiatif dan belajar untuk men-deliver value/nilai.
- Keterampilan sosial: berkolaborasi dalam tim yang beragam.
—————————————————————————————
Terus. Bagaimana cara sederhananya yang mungkin saya implementasikan untuk membentuk dan mengasah tiga keterampilan tersebut untuk anak-anak saya?
Untuk anak-anak yang lebih muda: ajarkan mereka membaca, lakukan aktivitas membaca bersama mereka, bacakan mereka cerita, batasi waktu menggunakan gadget, dan dorong mereka untuk beraktivitas ke luar (sosial) dan bergerak (fisik). Fokus pada keterampilan sosial dan kesiapan sekolah.
Untuk anak-anak usia menengah: lakukan perjalanan bersama mereka sebisa mungkin. Minta mereka menulis tentang apa yang mereka lihat dan pelajari, serta minta mereka untuk membangun solusi atas masalah yang menarik perhatian mereka. Cara ini untuk mulai melatih dan mengasah design skills, yaitu bagaimana mereka menerapkan pendekatan dalam melakukan problem solving.
Untuk remaja: bantu mereka membuat koneksi ke masyarakat/komunitas, mengunjungi para pemilik usaha, dan dapatkan pekerjaan ataupun rancang sendiri bisnis pribadi. Bantu mereka membangun portofolio pribadi yang menampilkan keterampilan kewirausahaan (inisiatif, value integritas) yang baik.
Fase Kecakapan Hasil Belajar
1 Kecakapan digital
Kelas 3 SD harus bisa mengetik 80 kata permenit.
Anak SD kelas 1–3 tidak bisa dilatih logika dan analisa, tetapi mereka pada puncaknya dalam perkembangan motorik. Ini alasan utama musisi dan atlit terbaik selalu dilatih pada usia ini. Maka kemampuan mengetik bisa mereka kuasai dengan mudah.
Mengetik ini dasar banget, tapi banyak mahasiswa yang kurang cakap. Akibatnya males nulis, ngetik makalah mengandalkan kopi-paste, ngetik skripsi lambat, idenya keburu ilang dari otak.
Jangan takut duluan dengan istilah algoritma, itu cuma biar kelihatan abad ke-21 saja, sederhananya ialah langkah-langkah untuk mencapai sesuatu.
Anak kelas 6 SD harus sudah paham bahwa nasi goreng yang dia makan itu melalui proses pertanian. Mereka harus bisa menjelaskan hingga tuntas apa saja yang dilakukan petani untuk memproduksi beras. Kemudian juga menjelaskan bagaimana beras diproses hingga menjadi nasi goreng berwarna merah kecokelatan dengan aroma telur goreng.
Jadi ketika diminta menjelaskan tentang bangku, maka yang dipikirkan pertama haruslah tentang menebang pohon.
Inilah algoritma. Langkah-langkah praktis yang harus ditempuh untuk memproduksi sesuatu atau menyelesaikan tugas tertentu. Relevansinya dengan dunia IT dan Digital jangan diragukan lagi.
Semua hal di dunia digital yang saya pernah lakukan dasarnya ya algoritma sederhana semacam itu. Kelas 6 SD harus punya Kreativitas dan Keberanian mencoba
Keinginan untuk berkarya dan melakukan sesuatu harusnya diajarkan sejak dini. Ini berkaitan dengan banyak hal, dari perkembangan motorik hingga perkembangan kreativitas dan keterampilan dasar.
Melukis, menggambar, membuat origami, menanam bunga, dan beragam aktivitas produktif lainnya harus mereka coba. Ini merangsang kreatifitas dan membuat mereka berani mencoba hal baru.
2. Kecakapan komunikasi
Kelas 7 SMP harus bisa membaca dan menyerap informasi dengan baik dari bacaan.
Komunikasi yang paling maju dari peradaban manusia ialah menulis dan membaca. Kemampuan ini lintas negara dan lintas zaman. Tulisan sejak romawi kuno, suku maya dan aksara jawa yang dituliskan ribuan tahun silam bisa dibaca kembali dan dipelajari oleh siapapun. Sekali lagi, lintas negara, lintas zaman.
Kemampuan menyerap informasi yang paling cepat ialah dengan membaca. Jadi untuk bisa cakap dalam berkomunikasi dimulai dulu dengan kecakapan membaca dan menyerap informasi.
Apa yang mau dikomunikasikan kalau tidak ada informasi yang sudah diserap?
Lebih bagus lagi kalau bisa bahasa Inggris, artinya bisa menyerap lebih banyak informasi.
Kelas 8 SMP harus bisa menulis.
Menulis berarti mencetak sejarah. Tidak bisa menulis berarti prasejarah. Tidak mau menulis berarti salah arah.
Menulis di sini diartikan sebagai pekerjaan pikiran bukan sekedar menyalin.
Ini juga kemampuan dasar dalam komunikasi. Email, laporan, esai, dan presentasi semuanya harus dituliskan dengan baik.
Penyesalan saya ialah baru belajar keterampilan semacam ini menjelang lulus kuliah. Kalau diberi kesempatan ulang, saya akan mulai latih ketika SMP.
Kelas 11 SMA harus mampu melakukan kurasi digital.
Menyeleksi dan menilai sebuah informasi ialah kemampuan penting yang juga harus dikuasai oleh generasi abad 21. Semakin liarnya arus informasi, menuntut agar dapat melakukan analisa yang tepat mengenai kualitas dari suatu informasi digital.
Tak cukup sampai di situ, siswa juga harus tahu apa yang harus dilakukan untuk meminimalisir persebaran informasi yang tidak bermanfaat dan berisi kebohongan. Belakangan semakin marak yang namanya Shitposting dan sesuai namanya berisi sampah, tidak terdidik, humornya tidak lucu, tidak analitis. Untuk kemampuan marketing dan entrepreneur mungkin lebih banyak di peroleh di luar sekolah dengan praktik langsung.
Dunia kerja terus berkembang di dunia ini. Bahkan tidak sedikit pekerjaan yang sekarang tertinggal. Tertinggalnya suatu pekerjaan terjadi karena kebutuhan manusia berubah sejak adanya teknologi atau bahkan teknologi itu sendiri yang melakukan pekerjaan itu. Kunci di dalam dunia kerja bukanlah untuk menjadi terus berusaha di hal yang sama, tetapi terus mencari hal yang bisa bermanfaat bagi orang lain. Jadi juga diperlukan kreativitas, inovatif, dan keterbukaan dalam berpikir, yang bisa sangat membantu jika dilibatkan dalam kurikulum.
sumur : id.quora.com