Ciri Khas Yang Membedakan Pengguna Twitter, Instagram dan Facebook

/Article /World

Twitter itu ibarat alun-alun/Taman kota

(gambar :google)

Alun-alun atau taman kota  itu cenderung berisik. Semua orang bicara tanpa ada tembok penyekat. Mengelilingi linimasa Twitter itu ibarat keluyuran di alun-alun/taman  Kota. Pada hari tertentu di sini terdapat karnaval yang menarik, pada lain hari isinya cuma orang rusuh. Pada masa kampanye, biasanya ada yang teriak-teriak bawa TOA di tengah-tengah lapangan.

Menariknya, alun-alun/taman kota penuh dengan orang-orang berbakat. Ada badut lucu, tokoh masyarakat, komedian garing, pemusik jalanan, aktivis lingkungan. Tapi kalau sudah maleman sedikit, ada yang jual diri.

Dengan struktur Twitter yang mirip alun-alun atau Taman Kota  akibatnya :

  • Short attention span. Pengguna Twitter itu punya daya konsentrasi selevel dengan ikan mas koki. Saat ini ramai apa, lima menit lagi sudah ganti topik.
  • Lebih terbuka. Karena mudah terekspos sudut pandang lain-lain.
  • Less judgmental. Sejelek apapun atraksi, kita tak bakalan mencaci-maki dia. Kecuali kalau memang sudah keterlaluan.
  • Egaliter. Tua, muda, kaya, miskin, ngetop, nobody, semua ikut adu bacot.
  • Perang #hashtag. 
  • Banyak gosip seru. Hari ini rame, besok pas dicari sudah tidak ada.
  • Banyak pendongeng horor.
  • Curhat sama orang-orang yang tidak dikenal.
  • Tempat para pemula mendaki tangga popularitas. Kalau sering kelihatan, mengumpulkan fanbase lama-lama ngetop sendiri.
  • Suka bantu orang lain dengan Twitter magic nya.
  • Katanya lebih open minded
  • Tempat  memantau trending, dari World Trending, Indonesia Trending, dan berbagai macam trending lainnya.
  • Sebaliknya jika ada akun pansos dan sok caper, hoax dan adu domba atau yang berbau toxic lainnya bakalan dihujat rame-rame. Rakyat Twitter jauh lebih berpendidikan dari yang kita lihat.

 

Facebook itu ibarat mall.

(gambar :google)

Menyusuri halaman home di Facebook itu ibarat berjalan keliling mall, menyaksikan ratusan etalase toko yang memajang barang beraneka ragam. Andai ada toko yang memamerkan barang menarik, tidak jarang kita tergoda untuk masuk ke toko itu kemudian “berburu harta karun” di sana.

Ada toko yang etalasenya selalu fresh. Ada etalase toko yang belum pernah update semenjak 2016. Ada toko yang selalu ramai. Ada yang sepi seperti kuburan. Banyak terdapat toko yang punya pelanggan setia untuk segmen pasar tertentu, mulai dari komunitas sepeda motor hingga grup bapak-bapak hobi ngelawak.

Dikarenakan desain Facebook yang seperti mall, akibatnya :

  • Urusan keluarga jadi urusan satu negara. Banyak yang menaruh masalah keluarga di etalase, akibatnya jadi tontonan seluruh pengunjung mall.
  • Memajang apapun di etalase. Mulai dari foto kemesraan sampai foto anjing.
  • Tempat bapak,, mak-mak reunian. Tempat bapak dan ibu ketemu teman SD, SMP, dan SMA mereka.
  • Echo-chamber dan solidaritas. Senang Liverpool? Ada tempatnya. Fanatik agama? Ada tempatnya. Demen Jokowi? Ada tempatnya. Akibat banyaknya kelompok-kelompok ini sudut pandang dari pengguna Facebook terkurung dalam “komunitas satu pandangan” yang apa-apa main keroyokan.
  • Jokowi. Prabowo. Unfriend. Tidak perlu dijelaskan lagi.
  • Banyak orang jualan. Tujuannya begitu..
  • Banyak orang pamer. Itu tujuannya.
  • Banyak akun palsu dan akun duplikat.
  • Banyak yang posting kenangan. Barang jadul keluar lagi di etalase.
  • Klik “Like” dan katakan “Amin”. 
  • Simpannya disini aja ya, padahal memang mau pamer saja.
  • Punya grup yang bermanfaat.
  • Bertebaran berita Hoax

 

Instagram itu ibarat trotoar.

(gambar :google)

Di kanan iklan wisata murah, di kiri reklame kue Lebaran, di depan papan informasi pemerintah, di belakang foto seleb “agak kurang terkenal” yang wajahnya menuhin videotron. Menjelajahi Instagram laiknya jalan-jalan menyusuri trotoar dan membiarkan diri kita dijejali informasi-informasi visual dan instan.

Dikarenakan luapan informasi yang didesain seakan-akan semuanya terlihat begitu menarik, pemilik papan-papan reklame itu berebut atensi pejalan kaki. Hal tersebut menyebabkan konten-konten Instagram menjadi bombastis, tetapi kurang memiliki esensi mendalam. 

Dengan desain ala trotoar di Instagram, akibatnya :

  • Paling gampang buat pamer materi. Soalnya serba-visual.
  • Semua glowing. Seakan-akan di dunia ini tidak ada orang miskin.
  • Posting satu kali, lihatnya lima detik, ngeditnya dua jam. Wajar saja sih, namanya juga papan reklame.
  • IInstastory tapi yang nonton cuma dua. 
  • Banyak influencer yang mencari penghasilan via endorseSebenarnya ini nggak ada bedanya dengan nonton iklan yang diglorifikasi. Kalau follower di Instagram sudah banyak, biasanya jadi ikut-ikutan buka jasa endorse.
  • Menaikkan followers adalah tujuan.
  • Buat jualan dan promo.
  • Cenderung tidak community-based. Semua informasi serba instan.
  • Kalau sedang liburan bikin story wajib hukumnya

 

Bacaan :

Wirawan Winarto –  CEO di Perusahaan Industri 4.0
Yuliandre Putra – Quora

Baca juga :

Podcast Sebagai Sarana Marketing Brand

Pengaruh Budaya Belanda Di Indonesia (Dutch Cultural Influences)