Tidak hanya Facebook yang mendeklarasikan akan mengembangkan metaverse, perusahaan teknologi raksasa seperti Microsoft juga turut serta dalam pengembangan metaverse. Terdapat juga platform game seperti Roblox dan Fortnite yang siap terjun ke metaverse. Proyek metaverse ini tentu adalah proyek raksasa di mana akan mengubah hidup kita yang sekarang ”dikendalikan” oleh berbagai media sosial berbentuk dua dimensi ke arah dunia virtual berbentuk tiga dimensi.
Dunia pendidikan tidak dapat menolak kemajuan teknologi. Justru kita wajib memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut sebagai alat untuk melakukan kegiatan yang positif. Dengan adanya pengembangan metaverse oleh perusahaan-perusahaan teknologi raksasa, maka dunia pendidikan mau tidak mau harus menyiapkan diri menyambut teknologi tersebut. Metaverse (jika memang berhasil dikembangkan) akan menjadi dejavu ketika internet dulu juga mulai masuk dalam dunia pendidikan.
Metaverse suatu saat akan membuat guru sejarah tidak perlu membawa peserta didiknya ke museum di dunia nyata. Peserta didik tinggal diajak masuk ke metaverse yang di sana sudah tersedia museum virtual tiga dimensi. Sebagai contoh yang lain, dalam pelajaran geografi, guru dapat mengajak peserta didik melihat peristiwa gunung meletus, bahkan bisa juga sekaligus melakukan wawancara kepada ahli vulkanologi secara virtual. Metaverse akan menjadikan pelajaran yang sebelumnya hanya bisa dilihat dalam dua dimensi, menjadi sebuah pengalaman yang lebih nyata. Peserta didik dibawa keluar dari dimensi abstrak menuju sebuah realitas virtual.
gambar : wsj.com
Metaverse mungkin akan membuat seluruh aktivitas dalam dunia pendidikan nantinya dapat dilakukan dalam dunia virtual. Sekolah akan dibangun di dunia virtual, kelas-kelas akan terdapat di dunia virtual, pembelajaran dilakukan secara virtual, bahkan administrasi sekolah juga dapat dilakukan secara virtual. Metaverse membuat kita dapat melakukan apa pun tanpa harus bertemu secara langsung. Jika hal ini terjadi, tentu menjadi sebuah disrupsi bagi dunia pendidikan masa kini. Sebuah angan-angan yang sangat menarik, sekaligus juga sangat mengerikan.
Jika semua kegiatan dalam dunia pendidikan dilakukan secara virtual, dampak negatif yang dapat dirasakan secara langsung tentu saja dari segi kesehatan. Seorang perempuan bernama Joanna Stren yang melakukan uji coba menggunakan virtual reality dan masuk dalam metaverse selama 24 jam, mengaku bahwa dia mengalami gejala kepala pusing dan mata sakit. Menurut Jak Wilmot yang pernah satu minggu merasakan hidup di dunia virtual mengatakan bahwa metaverse membuat kita kehilangan ”energi alam” yang sebenarnya adalah bagian dari hidup kita. Jadi, bisa dibayangkan jika kita berhari-hari menggunakan alat tersebut.
Selain dampak dari segi kesehatan, metaverse akan menghilangkan kehangatan sosial yang seharusnya bisa dirasakan ketika manusia melakukan interaksi dengan manusia lainnya secara langsung. Bagaimanapun juga, dunia virtual bukanlah dunia nyata. Dunia nyata sebenarnya adalah tempat kita hidup sekarang ini di bumi, bukan di metaverse. Bisa jadi seorang guru nanti tidak akan pernah mengenal secara langsung peserta didik yang telah dia ajar selama berbulan-bulan. Bisa jadi pembelajaran hanya sekadar formalitas saja tanpa menjadikan manusia menjadi manusia yang sesungguhnya
gambar : wsj.com
Metaverse dan Sistem Pendidikan
Menurut Prof. Ida ( Guru Besar di bidang Media dari Universitas Airlangga), akan muncul berbagai peluang sekaligus tantangan besar jika metaverse sudah melingkupi sistem pendidikan dan sekolah. Dilihat dari peluang, pendidikan di era metaverse akan menghadirkan pengalaman yang berbeda.
Kemudian metaverse yang bersifat borderless atau menyediakan ruang tak terbatas, memunculkan engagement yang lebih besar yang harus dihadapi.
“Kalau pendidikan masuk ke metaverse, maka kita harus siap dengan international engagement yang lebih luas, yang benar-benar wild. Orang siapapun masuk, bisa. Meski kita bisa mengunci beberapa ruang (digital),” jelasnya.
Untuk itu, Prof Ida mengingatkan masyarakat tentang dampak masuknya pendidikan di era metaverse yang perlu diantisipasi.
Pertama, karena kehadiran user di dunia virtual direpresentasikan dengan avatar, maka manusia berpotensi untuk sibuk mengawasi aktivitas avatar setiap waktu dan mengurangi aktifitas di dunia nyata.
“Kita nggak akan bisa tidur karena mengikuti avatar. Seperti Tamagotchi, mulai dari telur, vetus dan terus tumbuh besar. Kalau nggak dikasih makan akan mati. Begitu juga avatar, kalau nggak dikelola akan wild (buas), dia akan pergi kemana-mana,” ungkapnya.
Tantangan kedua, yakni mengenai jaminan keamanan siber seiring aktivitas digital yang lebih kompleks. Sehingga kebutuhan terhadap internet engineer akan semakin dibutuhkan di masa depan.
“Cyber security harus dipikirkan bagaimana keamanan untuk membuat aturan-aturan atau software keamanan untuk itu. Karena setiap ada cyber security, pasti ada ahli cyber construction. Yang dibutuhkan nanti adalah internet engineer yang kita sebut sebagai constructor tadi,” kata Prof. Ida.
gambar : wsj.com
Tantangan ketiga, yakni kondisi sosial ekonomi masyarakat yang membuat tidak semua orang mampu mendapatkan akses di era metaverse. Ia menceritakan, dalam sebuah kuliah daring saja, beberapa mahasiswanya masih mengeluhkan sinyal yang membuat proses belajar mengajar menjadi terhambat.
Dampak lainnya, yakni hilangnya proses interaksi langsung antara pengajar dan murid karena interaksi lebih banyak berlangsung secara virtual.
“Maka, angka pendidikan menjadi mahal dan interaksi manusia akan hilang. Padahal pendidikan tidak hanya soal materi, tapi juga message education seperti etika logika berfikir yang tidak bisa diajarkan secara virtual,” imbuhnya.
Belum lagi persoalan hukum siber, yang saat ini, belum menjadi solusi dari kemungkinan-kemungkinan kejahatan siber yang terjadi di dunia virtual.
“Contoh kecil saja, apa yang akan dilakukan saat avatar kita mengalami pelecehan seksual? Bagaimana cyber police akan mengajar avatar tadi? Cyber law harus dipikirkan. Di Amerika saja, saat ini masih gagap mengatur itu,” ungkapnya.
Dia juga menyarankan jika nantinya, era metaverse membuat pendidikan memasuki sekolah-sekolah virtual, maka orangtua sudah harus menyiapkan teknologi mumpuni agar anak-anak mereka dapat mengikuti sistem pengajaran dengan baik.
Kedua, orangtua juga harus memperhatikan menejemen waktu anak-anak mereka, agar tidak ‘tenggelam’ terlalu dalam dalam dunia metaverse.
“Seperti kapan student time, kapan bermain, kapan waktu ke luar, kapan waktu bersama keluarga, dan kapan waktu bersosialisasi di dunia nyata,” ujarnya.
Ketiga, adanya perangkat aturan untuk meminimalisir terjadinya plagiarism yang berpotensi besar terjadi di era metaverse yang borderless (tanpa batas).
“Materi-materi dalam metaverse harus disiapkan karena sudah open access. Itulah yang dihadapi salah satunya mencegah plagiarisme,” papar Prof. Ida.
Keempat, yakni masuknya ekonomi politik di dunia pendidikan yang harus diantisipasi dengan baik.
Realitas yang berbeda dan aktivitas virtual yang berkembang pesar, menurut Prof. Ida, membuat kesiapan masyarakat Indonesia menghadapi era metaverse harus dikaji ulang. Mengingat kesiapan SDM, teknologi, dan infrastuktur lainnya yang masih perlu dikembangkan.
“Kemarin pemerintah mengatakan, organisasi harus siap dengan metaverse. Metaverse itu tidak gampang, harus diajari dulu, masuk dulu. Seminggu di situ, how do you feel? kalau menyenangkan berarti tidak ada masalah,” ungkapnya
gambar : wsj.com
Metaverse dan Disrupsi Pendidikan
Perkembangan metaverse pada 2022 mulai ramai diperbincangkan. Teknologi metaverse, yang merupakan pemutakhiran teknologi digital, diprediksi akan berkembang pesat seiring teknologi internet generasi kelima atau 5G mulai beroperasi. Teknologi metaverse diprediksi akan semakin men-disrupsi lanskap kehidupan. Bukan hanya dunia ekonomi dan industri, namun bisa juga dunia pendidikan.
Model bisnis pendidikan yang masih mengandalkan megahnya infrastruktur sebagai nilai jual bisa jadi akan dipaksa menggali kuburannya sendiri. Pasalnya di metaverse setiap lembaga pendidikan bisa membangun kampus atau sekolah sangat megah sekalipun dalam dunia virtual dengan dukungan teknologi virtual and augmented reality.
Layaknya sekolah dan kampus dalam dunia nyata, setiap murid dan mahasiswa bisa mendaftar di sekolah dan kampus virtual tersebut. Melakukan pembayaran uang sekolah dan kampus. Kemudian, belajar dan mengajar bersama guru dan dosen dalam dunia virtual metaverse dengan diwakili avatar masing-masing.
Dengan demikian, setiap lembaga pendidikan bisa membuka sekolah dan kampusnya diberbagai kota, bahkan lintas negara. Sebuah brand sekolah atau kampus bisa dengan mudah membuka cabangnya di seluruh negara di dunia dalam bentuk kampus virtual.
Kuncinya adalah pada penjagaan kualitas pendidikan. Sehingga, pada akhir periode pendidikan, siswa dan mahasiswa sekolah dan kampus virtual ini juga mendapatkan kelulusan akademis secara legal formal sebagaimana sekolah dan kampus dalam dunia nyata.
Perkembangan teknologi metaverse bisa jadi akan benar-benar men-disrupsi dunia pendidikan. Sehingga, diskusinya bukan lagi model sekolah dan kampus seperti apa yang mampu bertahan pada masa depan, namun masih punya masa depankah sekolah dan kampus, seperti disinggung oleh Neil Postman dalam buku The End of Education.
gambar : wsj.com
Esensi Pendidikan
Perkembangan teknologi metaverse semestinya membuat para pengelola pendidikan berpikir menukik ke dalam, bukan memusatkan perhatian pada hal-hal artificial demi mengejar citra dan branding. Hal-hal artificial dan pencitraan pasti akan rontok ditelan teknologi.
Lantas, apa yang akan tetap bertahan dalam dunia pendidikan? Esensi pendidikan. Karena, secanggih apapun teknologi tetap tidak akan bisa menggantikan hal esensi dalam pendidikan. Proses transfer rohani guru kepada murid tidak mungkin digantikan oleh teknologi. Ada proses pertautan dan pengikatan kalbu guru dengan murid secara rohani. Oleh karena itu, pilihan terbaik lembaga pendidikan adalah menyambut teknologi metaverse dengan menguatkan esensi pendidikan. Kemudian, merancang pengembangan pendidikan dengan memanfaatkan teknologi metaverse.
gambar : wsj.com
Penerapan Metaverse dalam Dunia Pendidikan
Pandemi COVID-19, telah membawa dampak yang besar pada metode belajar di dunia pendidikan. Diperkirakan lebih dari 1,6 miliar siswa dari 192 negara di seluruh dunia, mengalami disrupsi pada proses belajar-mengajar.
Belajar yang tadinya bertemu tatap muka antara pengajar dan siswa, sekarang harus dilakukan secara online dengan berbagai macam platform online.
Dengan konsep dunia virtual yang diusung oleh Metaverse, pembelajaran secara online dapat dilakukan dengan lebih interaktif. Metaverse menyediakan dukungan pada pembelajaran online dengan tidak menghilangkan pengalaman belajar di sekolah atau kampus.
Beberapa universitas di dunia, telah memulai konsep pembelajaran ini. Mereka menyebut hal ini dengan istilah Metaverse University. Kampus-kampus berlomba untuk berinovasi dan menjadi pionir dalam pembelajaran metaverse.
Bacaan :
radarbanyuwangi.jawapos.com
kompasiana.com
retizen.republika.co.id
teknovidia.com
Baca juga: