Islam, authoritarianism, and underdevelopment: a global and historical comparison

/Article /World

Buku berjudul Islam, authoritarianism, and underdevelopment: a global and historical comparison yang ditulis oleh Ahmet Kuru (2019).

ada beberapa point yang di sampaikan kenapa kebanyakan negara-negara islam merupakan negara berkembang. jawaban perspektif yang ada di buku tersebut:

  • Penulis menjelaskan, bahwa setelah invasi Tentara Salib, bangsa Mongol dan, Timurid antara abad ke-12 dan ke-14, dunia Islam mulai mengalami kemunduran dalam hal ilmiah, sosial, ekonomi dan politik
  • Invasi tersebut akhirnya mendesak negara-negara islam untuk bertahan hidup dengan cara memperkuat elit militer dan memeperkuat hubungan negara dengan para ulama. hal-hal tersebut pada akhirnya mengorbankan keterlibatan para cendikiawan dan pedagang dalam tatanan pemerintahan sebuah negara
  • Para cendekiawan di Eropa menghasilkan pencapaian intelektual besar antara abad ke-8 dan ke-11, karena sebagian besar mereka bertindak secara independen (terbebas) dari pengaruh otoritas negara dan beragam kelompok pedagang sangat mendukung (secara finansial) kegiatan inovasi ilmiah mereka
  • Setelah abad ke-14, negara-negara Muslim mulai kehilangan kreativitas mereka dan menjadi acuh tak acuh terhadap kemajuan yang terjadi di Eropa, termasuk revolusi percetakan dan revolusi ilmiah yang terjadi
  • Selama periode pencerahan, Barat mendorong agama ke ruang privat, sementara dunia Muslim memasukkan agama (Islam) ke dalam tatanan negara. Menurut penulis ini adalah salah satu alasan mengapa terjadi keterbelakangan dan otoriterisme dalam dunia Islam
  • Sementara itu, di Eropa, kerja sama para cendikiawan dan pedagang mendorong bagi peristiwa-peristiwa transformatif seperti Renaisans, ekspansi ke wilayah baru, dan penemuan mesin cetak
  • hal-hal yang jelas di zaman kontemporer seperti sekarang ini, kebijakan pemerintah tidak jarang yang berbenturan dengan organisasi ulama (misalnya di indonesia MUI). serta tidak jarang juga antara keputusan kebijakan politik dan fatwa ulama dicampuradukkan[1]
  • dalam sebuah jurnal ilmiah dijelaskan, sebuah fatwa dapat meningkatkan atau memperburuk implementasi demokrasi. Fatwa dapat menghambat demokrasi jika isinya tidak selaras dengan prinsip-prinsip demokrasi[2]
  • jika saya merefleksikan apa yang terjadi di Indonesia, agama (terutama agama islam) pada akhirnya dipolitisasi untuk kepentingan mendulang suara dari para calon pemilu, hingga aspek adu argumen kebijakan yang terbaik dari setiap calon pemimpin di Indonesia terabaikan[3] akhirnya perdebatan kebijakan bukan lagi membahas hal programatik (adu program kebijakan), namun berlomba-lomba untuk menjadi yang paling populis (paling dikenal luas di masyarakat)
  • sebuah penelitian[4] menemukan, bahwa terjadi percampuradukan antara urusan agama dan politik di indonesia. para tokoh-tokoh organisasi agama islam (mayoritas berasal dari NU dan Muhammadiyah dalam jurnal ini) yang terlibat dalam tata pemerintahan di ranah legislatif, malah menjadi ‘broker’ politik dengan memanfaatkan suara dari anggota organisasinya
  • pada akhirnya masyarakat yang tidak berpendidikan dan kebanyakan dari masyarakat golongan kelas menegah ke bawah akan sangat mudah disetir untuk kepentingan politik dari orang-orang yang memiliki kepentingan

Liberal=PKI? what?

  • yang ingin saya sampaikan adalah jadikan agamamu untuk menjadi landasan kamu bertindak (termasuk saat kamu sudah menjadi aktor negara). pada dasar semua agama mengajarkan kebaikan. namun jangan jadikan agamamu sebagai alat untuk berpolitik

Catatan Kaki[1] ʿUlamāʾ, State and Politics: Majelis Ulama Indonesia after Suharto[2] Fatwas and Democracy: Majelis Ulama Indonesia (MUI, Indonesian Ulema Council) and Rising Conservatism in Indonesian Islam | TRaNS: Trans-Regional and -National Studies of Southeast Asia | Cambridge Core[3] Politisasi Agama Kental Warnai Pemilu 2019[4] The Political Decline of Traditional Ulama in Indonesia: The State, Umma and Nahdlatul Ulama