BUDAYA POSITIF
Oleh Dipa Adi Martius
Kesimpulan Mengenai Peran Dalam Menciptakan Budaya Positif Di Sekolah
Disiplin Positif
Disiplin adalah praktik batin yang tercermin dalam tindakan yang bertujuan untuk menjaga orang dalam ketaatan pada aturan. Disiplin ini diharapkan dapat melatih siswa untuk mematuhi peraturan sekolah, memperlancar proses belajar mengajar, dan memperlancar pencapaian tujuan pendidikan
Disiplin positif adalah proses pembelajaran. Disiplin positif merupakan pendekatan mendidik anak untuk melakukan kontrol diri dan pembentukan kepercayaan diri. Disiplin berbeda sama sekali dengan hukuman meskipun disiplin sering diterapkan dengan menggunakan teknik hukuman.
Hukuman bersifat satu arah, dari pihak guru yang memberikan, dan murid hanya menerima suatu hukuman tanpa suatu diskusi atau pengarahan dari pihak guru, baik sebelum atau sesudahnya. Hukuman yang diberikan bisa berupa fisik maupun verbal dan murid disakiti oleh suatu perbuatan atau kata-kata.
Konsekuensi memberikan pilihan-pilihan jalan keluar kepada pelanggar. Pemberian konsekuensi hendaknya relevan dengan tindakan pelanggaran yang dibuat.
Restitusi memberikan pilihan-pilihan alternatif yang bisa dipilih pelanggar, agar dapat menyelesaikan masalah.
Motivasi Perilaku Manusia (Hukuman Dan Penghargaan)
Untuk menciptakan murid yang merdeka, syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat. Disiplin yang dimaksud adalah disiplin diri yang memiliki motivasi internal. Jika kita tidak memiliki motivasi Internal maka kita memerlukan pihak luar untuk mendisipinkan kita yang disebut motivasi eksternal. Tujuan dari disiplin positif adalah menanamkan motivasi yang ketiga pada ,murid-murid kita yang menjadi orang yang merdeka sesuai yang diinginkan menghargai diri sendiri dengan nilai-nilai yang mereka percaya.
Dengan melaksanakan kegiatan belajar mengajar sesuai waktu, sesuai tahapan dan sesuai pilihan merupakan hal yang indah. Jika siswa memiliki tanggung jawab dalam menjalankan kedisiplinan, maka disiplin bukan beban. Melainkan hal positif yang mesti ditaklukan.
Posisi Kontrol Restitusi
Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan bahwa guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas kita selama ini. Apakah telah efektif, apakah berpusat memerdekakan dan memandirikan murid, bagaimana dan mengapa? Melalui serangkaian riset dan bersandar pada teori Kontrol Dr. William Glasser, Gossen berkesimpulan ada 5 posisi kontrol yang diterapkan
Seorang guru, orang tua ataupun atasan dalam melakukan kontrol. Kelima posisi kontrol tersebut adalah : Penghukum, Pembuat Orang Merasa Bersalah, Teman, Monitor (Pemantau) dan Manajer.
Posisi Pertama: Punisher (Penghukum)
Pada posisi ini perbuatan guru berupa menghardik, menunjuk-nunjuk, menyindir, dan menyakiti. Hasilnya siswa akan memberontak, menyalahkan orang lain, dan berbohong. Itu dilakukan agar tidak dihukum. Siswa meletakkan guru di luar dunia berkualitas. Karena siswa benci atau tidak senang, guru seperti ini bukan seseorang yang difavoritkan.
Posisi Kedua: Guilter (Pembuat orang lain merasa bersalah)
Pada posisi ini, intonasi guru lebih halus. Misalnya, “Aduh, kamu kok telat lagi. Kamu ‘kan sudah bilang mau tepat waktu. Kok sekarang telat lagi, sih?”
Guru banyak berceramah dan mengeluarkan kata-kata yang mengaduk-aduk perasaan sehingga murid merasa bersalah. Hasilnya, siswa akan menyembunyikan, menyangkal, dan berbohong untuk menutupi kesalahannya. Siswa menjadi rendah diri, perasaan dirinya jelek dan sang anak akan berkata,”Maafkan, saya.” Siswa menganggap dirinya jelek dan bukan anak yang baik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berakibat buruk. akan bisa menggerogiti anak.
Posisi Ketiga: Buddy (Teman)
Guru mengambil posisi sebagai orang yang dekat dengan anak-anak. Ia menjalin hubungan pertemanan dengan humor dalam mempengaruhi siswa. Tutur katanya ramah, kadang bercanda, dan sok kenal sok dekat dengan anak.
Kalimat seperti: “Nancy, kamu kan anak paling cepat berlari? Besok lagi jangan terlambat, ya? Harusnya kamu baris paling depan, loh. Lakukan itu untuk saya, ya! adalah kalimat yang dilontarkan guru dengan mengambil posisi sebagai teman. Siswa bedisiplin untuk gurunya (motivasi eksternal).
Posisi Pertama: Punisher (Penghukum)
Pada posisi ini perbuatan guru berupa menghardik, menunjuk-nunjuk, menyindir, dan menyakiti. Hasilnya siswa akan memberontak, menyalahkan orang lain, dan berbohong. Itu dilakukan agar tidak dihukum. Siswa meletakkan guru di luar dunia berkualitas. Karena siswa benci atau tidak senang, guru seperti ini bukan seseorang yang difavoritkan.
Posisi Kedua: Guilter (Pembuat orang lain merasa bersalah)
Pada posisi ini, intonasi guru lebih halus. Misalnya, “Aduh, kamu kok telat lagi. Kamu ‘kan sudah bilang mau tepat waktu. Kok sekarang telat lagi, sih?”
Guru banyak berceramah dan mengeluarkan kata-kata yang mengaduk-aduk perasaan sehingga murid merasa bersalah. Hasilnya, siswa akan menyembunyikan, menyangkal, dan berbohong untuk menutupi kesalahannya. Siswa menjadi rendah diri, perasaan dirinya jelek dan sang anak akan berkata,”Maafkan, saya.” Siswa menganggap dirinya jelek dan bukan anak yang baik. Dalam jangka panjang, hal ini bisa berakibat buruk. akan bisa menggerogiti anak.
Posisi Ketiga: Buddy (Teman)
Guru mengambil posisi sebagai orang yang dekat dengan anak-anak. Ia menjalin hubungan pertemanan dengan humor dalam mempengaruhi siswa. Tutur katanya ramah, kadang bercanda, dan sok kenal sok dekat dengan anak.
Kalimat seperti: “Nancy, kamu kan anak paling cepat berlari? Besok lagi jangan terlambat, ya? Harusnya kamu baris paling depan, loh. Lakukan itu untuk saya, ya! adalah kalimat yang dilontarkan guru dengan mengambil posisi sebagai teman. Siswa bedisiplin untuk gurunya (motivasi eksternal).
Segitiga Restitusi adalah materi baru yang terdapat dalam Program Pendidikan Guru Penggerak. Restitusi dilakukan sebagai upaya membantu siswa memperbaiki diri agar dapat kembali ke kelompoknya dengan karakter yang lebih baik dan kuat.
Restitusi adalah proses menciptakan kondisi bagi murid untuk memperbaiki kesalahan mereka, sehingga mereka bisa kembali pada kelompok mereka, dengan karakter yang lebih kuat (Gossen; 2004). Bagian dasar segitiga restitusi memiliki tujuan untuk merubah orang yang gagal karena telah berbuat kesalahan menjadi orang yang sukses. Kita harus mampu meyakinkan mereka dengan mengatakan kalimat seperti 1) tidak ada manusia yang sempurna; 2) saya juga pernah melakukan kesalahan
Langkah-langkah Segitiga Restitusi:
1) Menstabilkan identitas
– Menurut Randy, perbuatan yang Randy lakukan tadi pagi itu benar atau salah ?
– Setiap orang pasti pernah melakukan kesalahan
– Tidak ada di dunia ini orang yang sempurna.
2) Validasi tindakan yang salah
– Randy pasti punya alasan mengapa melakukan itu?
– Sekarang ceritakan pada Ibu, apa alasanmu?
3) Menanyakan keyakinan
– Kita sudah membuat keyakinan kelas.
– Keyakinan kelas apa saja yang telah kita sepakati?
Nilai-nilai kebajikan universal meliputi hal-hal seperti Keadilan, Tanggung Jawab, Kejujuran, Bersyukur, Lurus Hati, Berprinsip, Integritas, Kasih Sayang, Rajin, Komitmen, Percaya Diri, Kesabaran, dan masih banyak lagi.
Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal yang dibuat dalam bentuk kalimat positif. Keyakinan kelas tidak dibuat dalam jumlah banyak sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas. Keyakinan kelas merupakan sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan kelas tersebut. Keyakinan kelas berupa pernyataan-pernyataan universal yang dibuat dalam bentuk kalimat positif. Keyakinan kelas tidak dibuat dalam jumlah banyak sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas. Keyakinan kelas merupakan sesuatu yang dapat diterapkan di lingkungan kelas tersebut.
Bagaimana mewujudkan sebuah keyakinan kelas yang efektif?
Adapun beberapa langkah dalam mewujukan keyakinan kelas tersebut adalah, Orientasi kepada siswa tentang pentingnya kesepakatan kelas bagi kelancaran proses pembelajaran. Menyepakati waktu diskusi kelas wajib dilakukan. Guru memimpin diskusi terkait kesepakatan kelas.
Perubahan apa yang terjadi pada cara berpikir Anda dalam menciptakan budaya positif di kelas maupun sekolah Anda setelah mempelajari modul ini (1.4)?
- Untuk menciptakan budaya positif yang berpihak pada peserta didik, maka sebagai guru saya harus memahami beberapa aspek yaitu: disiplin positif, posisi kontrol guru, kebutuhan dasar manusia, keyakinan kelas, dan segitiga restitusi.
- Saya telah memulai merefleksi dan mengevaluasi budaya disiplin yang selama ini diterapkan.
- Saya sudah mulai melakukan perubahan dan perbaikan sesuai dengan disiplin positif yang sudah saya pelajari untuk menciptakan budaya positif yang berpihak pada peserta didik.
Pengalaman seperti apakah yang pernah Anda alami terkait penerapan konsep-konsep inti dalam modul Budaya Positif baik di lingkup kelas maupun sekolah Anda? Bagaimanakah perasaan Anda ketika mengalami hal-hal tersebut?
Pengalaman yang pernah saya lakukan di sekolah menggunakan konsep budaya positif adalah ketika ada pesereta didik yang sering terlambat, mengabaikan tugas dan tanggung jawabnya membersihkan labor praktek pada setiap habis praktek. Pada kasus ini saya tidak menberikan menghukum peserta didik yang terlambat, tidak mengerjakan tugas, secara langsung akan tetapi saya memposisikan diri sebagai pemantau yaitu bertanya kepada siswa masih ingat kah dengan kesepakatan kita di kelas, bahwa siswa yang tidak menaati aturan konsekuensinya seperti apa ? karena saya lebih mengandalkan data yang saya miliki dan menunjukan catatan-catatan tersebut kepada peserta didik yang terlambat , tidak membersihkan /merapikan labor praktek melanggar aturan secara berulang dengan kesalahan yang sama.
Ketika hal yang saya lakukan menunjukan efek yang positif sesusi dengan harapan, saya merasa senang dan nyaman melaksanakan pembelajaran. Sedikit keberhasilan memotivasi saya agar lebih bersemangat untuk melaksanakan upaya perbaikan pada kelas tersebut.
Menurut Anda, terkait pengalaman dalam penerapan konsep-konsep tersebut, hal apa sajakah yang sudah baik? Adakah yang perlu diperbaiki?
Dalam penerapan konsep budaya positif pada pengalaman yag sudah terlaksanakan adalah menjaga kebersihan dan kerapian peralatan praktek di labor. Peserta didik sudah memiliki kesadaran akan budaya positif berkaitan dengan kebersian dan kerapian alat praktek. Peserta didik pun merasa nyaman dan bersemangat dalam pembelajaran dengan penerapan konsep budaya positif.
Dan yang masih perlu diperbaiki adalah masalah keterlambatan. Peserta didik masih ada yang terlambat ketika pelaksanaan pembelajaran. Masih diperlukan beberapa metode yang perlu dilaksanakan agar konsep budaya positif dapat implementasikan.
Sebelum mempelajari modul Budaya Positif , ketika berinteraksi dengan murid, berdasarkan 5 posisi kontrol, posisi manakah yang paling sering Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda saat itu? Setelah mempelajari modul ini, posisi apa yang Anda pakai, dan bagaimana perasaan Anda sekarang? Apa perbedaannya?
Sebelum mempelajari modul Budaya Positif ketika berinteraksi dengan peserta didik saya sering memakai posisi kontrok sebagai “Penghukum”. Dimana setiap kesalahan yang dilakukan oleh peserta didik harus diberikan sangsi. Pada saat itu saya yakini hal tersebut akan dapat mencapai tujuan dan membentuk karakater peserta didik.
Setelah mendalami modul budaya positif saya lebih cenderung menjalankan posisi kontrol sebagai ‘manajer”. Sebagai menajer adalah posisi mentor di mana guru berbuat sesuatu bersama dengan peserta didik, mempersilakan murid mempertanggungjawabkan perilakunya, mendukung murid agar dapat menemukan solusi atas permasalahannya sendiri. Seorang manajer telah memiliki keterampilan di posisi teman maupun pemantau, dan dengan demikian, bisa jadi di waktu-waktu tertentu kembali kepada kedua posisi tersebut bila diperlukan. Namun bila kita menginginkan peserta didik kita menjadi manusia yang merdeka, mandiri dan bertanggung jawab, maka kita perlu mengacu kepada Restitusi yang dapat menjadikan murid kita seorang manajer bagi dirinya sendiri. Pada manajer, Peserta didik diajak untuk menganalisis kebutuhan dirinya, maupun kebutuhan orang lain. Disini penekanan bukan pada kemampuan membuat konsekuensi, namun dapat berkolaborasi dengan murid bagaimana memperbaiki kesalahan yang ada.
Berbeda dengan posisi kotrol sebagai penghukum yaitu : Seorang penghukum bisa menggunakan hukuman fisik maupun verbal. Orang-orang yang menjalankan posisi penghukum, senantiasa mengatakan bahwa sekolah memerlukan sistem atau alat yang dapat lebih menekan peserta dalam proses budaya disiplin, penegakan aturan dan lain sebagainya.
Sebelum mempelajari modul Budaya Positif, pernahkah Anda menerapkan segitiga Sebelum mempelajari modul ini, pernahkah Anda menerapkan segitiga restitusi ketika menghadapi permasalahan murid Anda? Jika iya, tahap mana yang Anda praktekkan dan bagaimana Anda mempraktekkannya?
Sebelumnya, saya pernah menghadapi permasalahan peserta didik di kelas dan menerapkan segitiga restitusi pada posisi Manajer yakni ketika menghadapi peserta didik yang tidak jujur, seperti contoh kasus yang saya alami ada salah seorang peserta didik di sekolah yang melapor bahwa handphoen hilang di dalam tas nya ketika waktu istirahat, setelah saya bertanya ke semua peserta didik di kelas tak satupun siswa yang mengaku dan ingin mengembalikan handphone temannya tersebut, maka tindakan yang saya ambil pada saat itu ialah mengajukan beberapa pertanyaan dan mengindentifikasi kasus tersebut dari teman-teman dekatnya serta memberikan pemahaman kepada semua peserta didik tentang kejujuran yang mereka yakini pada diri mereka dan dampak yang akan mereka dapatkan jika berperilaku tidak jujur.
Selain konsep-konsep yang disampaikan dalam modul ini, adakah hal-hal lain yang menurut Anda penting untuk dipelajari dalam proses menciptakan budaya positif baik di lingkungan kelas maupun sekolah?
Hal-hal lain yang menurut mungkin cukup penting untuk dipelajari ialah tentang bagaimana mendisiplinkan peserta menggunakan teori kontrol yang tepat dalam memecahkan berbagai macam kasus yang terjadi di kelas maupun di sekolah. Pembinaan karakter sebagai profil pelajar Pacasila perlu mendapat perhatian serius dari guru.
Sebagai guru haruslah menjadi menjadi teladan, memberi tuntunan, motivator untuk melakukan pembiasaan dan pioneer pembentuk Keyakinan.
Langkah dan strategi yang lebih efektif, konkret, dan realistis untuk mewujudkan budaya positif di sekolah dengan mengisi Tabel Rancangan Tindakan Aksi Nyata
Baca juga :