Rabab Pasisia adalah seni tutur yang berkembang pada masyarakat Pesisir Selatan, Sumatera Barat, dimana dalam pertunjukannya menggabungkan antara kaba atau cerita dengan iringan rabab. Pertunjukan musik Rabab di Minangkabau sebagai suatu kebudayaan yang memiliki berbagai macam dan jenis kesenian tradisional, satu dengan lainnya mempunyai ciri dan spesifikasi. Suatu perspektif atau pandangan luas masyarakat Minangkabau tentang kesenian Rabab Pasisia yang tumbuh dan berkembang di Pesisir Selatan saat ini sangat menarik untuk di perbincangkan
Asal mula
Alat musik gesek ini diperkirakan berasal dari budaya Persia-Arab. Seiring dengan masuknya Islam ke Indonesia, alat musik gesek tersebut juga menjadi salah satu sarana para pedagang Arab ketika itu untuk menyebarluaskan ajaran Islam. Oleh karena itu alat musik tersebut banyak ditemui di beberapa daerah di Indonesia dengan penamaan yang berbeda seperti di Sumatera Barat di kenal dengan nama rabab, di pulau jawa disebut dengan rebab, di Aceh disebut dengan hereubab, di Sulawesi Selatan disebut juga dengan nama gesok-gesok.
Pada awalnya, alat musik rabab tidaklah berbentuk seperti biola saat ini. Akan tetapi, setelah kedatangan bangsa Eropa, yaitu Belanda, Inggris, dan Portugis ke wilayah ini dengan membawa alat musik gesek yang dinamakan biola. Dari sinilah alat musik rabab yang terbuat dari tempurung kelapa itu menyesuaikan diri dengan alat musik biola yang dibawa oleh bangsa Eropa. Sehingga sampai sekarang alat musik itupun disebut rabab, hanya cara memainkannya tidak dipundak melainkan diletakkan di bawah dan dimainkan dengan sambil duduk bersila.
Rabab atau lebih dikenal dengan Biola adalah kesenian tradisional yang umurnya sudah tergolong tua. Di Sumatera Barat, sebutan rabab tersebut tentunya berkaitan dengan latar belakang sejarah masuknya Islam ke Sumatera Barat. Alat musik ini pada awalnya dibawa oleh pedagang-pedagang dari Aceh yang datang ke Minangkabau untuk berdagang dan menyebarkan Islam. Mereka menyebarkan islam dengan dakwah yang diiringi dengan musik rabab. Rabab adalah istilah secara umum yang di-pakai oleh masyarakat pesisir Selatan (barabab). Sedangkan secara khusus masyarakat Kambang Kecamatan Lengayang mengungkapkan bahwa barab sama dengan babiola.
Istilah rabab bukanlah bahasa Minangkabau asli dan dalam bahasa Indonesia disebut “Rebab”. Istilah rebab dan rabab sama-sama memiliki hubungan dan latar belakang sejarah perkembangan agama Islam ke Nusantara ini. Istilah rebab cocok untuk dialek bahasa melayu, sedangkan istilah rabab lebih sesuai dengan dialek bahasa Minangkabau yang cenderung memunculkan huruf vokal a pada suku kata pertamanya. Kemudian dalam bahasa Arab dijumpai kata rabab secara lafadz berbunyi rabaabun atau rabaabatun, artinya sejenis bunyi biola. Mardjani Martamin menyatakan sebagai berikut. Rabab adalah salah satu unsur kebudayaan Islam. Fungsi rabab itu pada mulanya adalah sebagai alat dakwah Islam.
Para kaum sufi sudah banyak melakukan kontemplasi untuk berhubungan dengan sang Khalik menggunakan musik (Frishkopf, 2012: 148-156). Seni Islam adalah sarana yang memungkinkan ruh Islam menembusi segala perkara dan bentuk aktifitas, menyerap ke seluruh kehidupan manusia untuk mengingatkan mereka akan kehadiran Tuhan kemanapun mereka melangkah (Ediwar, 2016: 31).
Masuknya rabab tersebut ke Sumatera Barat di bawah oleh pedagang Islam. Bentuk rabab yang asli tidak dapat dikenal lagi, sedangkan bentuk yang ada di daerah Sumatera Barat adalah bentuk yang dibuat sesuai dengan kondisi setempat. Daerah pertama di Sumatera Barat yang masuk Islam adalah Pariaman. Maka dari daerah Pariaman rabab tersebut menyebar ketiga jurusan yaitu ke Pesisir Selatan, Pesisir Utara dan Pedalaman. Bentuk rabab yang ada di pedalaman berbeda dengan yang di daerah Pesisir, di mana di daerah Pesisir Selatan berbentuk seperti biola (Martamin, 1977: 59).
Photo : Pirin Asmara (Google)
Baca Juga :
Alm. Pirin Asmara (Maestro Rabab Pasisia) Terima Anugerah Kebudayaan Sumbar Tahun 2020
13 Tempat Wisata Di Pesisir Selatan
Rabab pasisia
Kesenian rabab sebagai salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan masyarakat Minangkabau, tersebar dibeberapa daerah dengan wilayah dan komunitas masyarakat yang memiliki jenis dan spesifikasi tertentu. Rabab darek, rabab piaman dan rabab pasisie merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup berkembang dengan wilayah dan didukung oleh masyarakat setempat. Rabab darek tumbuh dan berkembang di daerah darek Minangkabau meliputi lluhak nan tigo sedangkan rabab piaman berkembang di daerah pesisir barat Minangkabau, yang meliputi daerah tepian pantai (pesisir) atau juga di sebut dengan rabab pasisia.
Rabab yang terkenal di Minangkabau yakninya rabab pasisia, salah satunya berasal dari kabupaten Pesisir Selatan. Pesisir Selatan sebagai wilayah kebudayaan Minangkabau yang menurut geohistorisnya di klasifikasikan kepada daerah rantau pasisia yang cakupan wilayah tersebut sangat luas dan didaerah inilah berkembangnya kesenian rabab pasisia.Rabab pasisia ditinjau dari aspek fisik pertunjukanya memiliki spesifikasi tersendiri dan ciri khas yang bebeda dengan rabab lainnya. Terutama dari segi bentuk alat yang mirip dengan biola. Hal tersebut secara historis berasal dari pengaruh budaya portugis yang datang ke Indonesia pada abad ke XVI melalui pantai barat Sumatera.
Kegiatan memainkan alat musik gesek ini di Sumatera Barat dinamakan dengan Barabab. Barabab ini juga dikenal sebagai seni tradisinya kaum nelayan di daerah pesisiran. pantai barat Sumatera, khususnya di Pesisir Selatan dan di Kabupaten Padang Pariaman.Diantara kedua daerah tersebut terdapat juga perbedaan dalam penampilan seni rabab ini. Perbedaan kedua jenis seni tradisi rabab di kedua daerah ini terletak pada bentuk alat musik dan nuansa irama yang dihasilkan rebab pada kedua daerah itu. Rabab di Pariaman lebih bernuansa klasik, nadanya terbatas, sedangkan rabab di Pesisir Selatan lebih variatif dan dapat menghasilkan nuansa irama yang lebih beragam, bahkan dapat dikombinasikan dengan alat-alat musik lainnya, seperti gendang, chaar, dan juga saluang. Hal inilah yang menyebabkan rabab pasisia lebih banyak digemari dan banyak diminati pendengar, tidak terkecuali para perantau Minangkabau.
Komponen instrumen musik Rabab Pasisia yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan mempunyai bentuk yang tidak jauh berbeda, kalaupun ada perbedaannya semua itu dapat diindikasikan sebagai kesenangan dalam berkreasi untuk membuat instrumen. Berikut adalah alat musik rabab yang digunakan oleh tukang rabab dalam pertunjukannya.
Rabab Pasisia dimainkan dengan posisi duduk, cara memegang penggesek dan cara menggesek ternyata kebiasaan tersebut sudah menjadi tradisi semenjak hadir dan berkembangnya Rabab Pasisia di Kabupaten Pesisir Selatan Sumatera Barat. Jika ditinjau dari segi teknis maka didapati berbagai teori-teori dan konsep yang lahir tanpa pengertian mekanisme yang jelas menurut kaidah fisiologis. Fisiologis menurut pandangan Grant Allen adalah ‘kesenangan estetik’ pada manusia yang ditimbulkan oleh karya seni yang merupakan kumpulan aktivitas subjektif dalam diri manusia, yang tidak punya hubungan langsung dengan fungsi vitalnya, tetapi hanya menyentuh terminal organ pikiran sistem saraf otak manusia (Jakop Sumardjo, 2002: 298). Setiap pemain rabab atau pendendang bermain dengan insting dan kemampuan serta sesuai dengan perkembangan bakat masing-masing melalui pengalaman yang didapat oleh tukang rabab atau (pemain rabab).
Pertunjukan
Dalam rabab memiliki komposisi tersendiri tergantung kepada lagu yang diinginkan dengan memainkan lagu yang bersifat kaba sebagai materi pokok atau melantunkan lagu tentang suatu kisah. Lagu yang lahir tesebut merupakan ide gagasan yang berasal dari komunitas masyarakat yang berbeda namun ada dalam daerah yang sama.
Musik tradisional rabab pasisia biasanya dipertunjukan pada konteks upacara yang ada hubungannya dengan adat istiadat masyarakat pemiliknya, misalnya pada waktu perhelatan perkawinan, turun mandi, dan upacara alek nagari. Pertunjukan rabab pasisia terbuka peluang untuk pemain alat musik (rabab, adok, orgen, tamborin), penyanyi dan penonton untuk saling berinteraksi, melalui syair dendang dan kaba, dalam ruang dan waktu pertunjukan yang mereka alami bersama.
Waktu pertunjukan musik Rabab Pasisia ini dibagi atas dua tahap yakni;
Tahap pertama, dilakukan dari pukul 20.00 WIB sampai pukul 24.00 WIB.
Pada tahap pertama ini lagu-lagu atau dendang-dendang yang dibawakan dendang gembira seperti; Raun Sabalik, dan dendang-dendang Ginyang.
Tahap kedua, waktu penyajian yang tepat untuk membawakan lagu-lagu Sikambang “Ba kaba” biasanya dimulai pada larut malam yaitu sekitar 24.00 sampai pukul 5.00 pagi.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan, syarat tersebut dalam penyajian rabab saat ini tidak mutlak untuk diberlakukan dalam setiap pertunjukannya, sehingga bersifat fleksibel dan disesuaikan dengan konteks pertunjukan
Baca Juga :
Alm. Pirin Asmara (Maestro Rabab Pasisia) Terima Anugerah Kebudayaan Sumbar Tahun 2020
13 Tempat Wisata Di Pesisir Selatan
Keberadaan Rabab Pasisia.
Sesuai dengan perkembangan zaman, sebagian posisi rabab/biola sudah digantikan dengan Orgen Tunggal, musik Gambus, seni musik tradisional lainya dalam kegiataan perhelatan dalam masyarakat. Kondisi ini juga terlihat pada kecenderuangan kurangnya minat kaum muda terhadap budaya kesenian Rabab.
Sebagai anak nagari Pasisia Selatan dimanapun berada, kita semua “bertanggungjawab” terhadap keberadaan dan kelestarian budaya rabab (biola) agar tidak hilang ditelan masa.
Berikut sedikit cuplikan Rabab / Biola :
Sumber :
id.wikipedia.org
Hartitom, G.R. Lono L. Simatupang, dan Victor Ganap (Artikel : Rabab Pasisia as a Tutur Art Show in The Pesisir Selatan District)